Saturday, October 4, 2025
spot_img

HUKUM MAKAN DAN MINUM BERDIRI (2013)

KEPUTUSAN Nomor: 01 /KF/MUI-SU/I/2013

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Utara dalam sidangnya tanggal 10 Rabi’ al-Awwal 1434 H bertepatan dengan 22 Januari 2013 M setelah:

Menimbang : 

  1. Adanya pertanyaan dari salah seorang pengurus MUI Sumatera Utara tentang hukum makan dan minum berdiri.
  2. Bahwa makan dan minum berdiri telah menjadi kebiasaan yang dilakukan dalam acara pesta pernikahan dan lainnya di tengah-tengah umat Islam.
  3. Bahwa para Ulama berbeda pendapat tentang hukum makan dan minum berdiri.
  4. Bahwa Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga pemberi fatwa memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum makan dan minum berdiri agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.

Mengingat  :    1. Firman Allah SWT (QS. an-Nahl [16]: 114)

“فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ”

Artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

2. Firman Allah SWT (QS. al-Baqarah [2]: 60)

“كُلُواْ وَاشْرَبُواْ مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلاَ تَعْثَوْاْ فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ”

Artinya: “Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

3. Firman Allah SWT (QS. al-Baqarah [2]: 168)

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ”

Artinya: “Wahai manusia! makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.

4. Hadis Nabi Muhammad saw:

قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ”. (رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَابْنُ مَاجَه)

Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Tiada yang lebih buruk diisi oleh anak Adam selain perut. Cukuplah baginya beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika nafsu mengalahkannya, (maka hendaklah ia membatasinya) sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk udara (nafas)” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadis Nabi Muhammad  saw:

عَن ابْنِ عَبّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَقَيْتُ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ، فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Ibnu Abbas ra berkata: “Aku memberi minum Nabi saw dari air Zam-zam sementara beliau sedang berdiri”. (HR. al-Bukhârî dan Muslim).

Hadis Nabi Muhammad  saw:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ (رَوَاهُ التِّرْمِذِي)

Ibnu Umar ra berkata: “Kami makan pada masa Rasulullah saw dan kami berjalan dan kami minum dalam posisi berdiri”. (HR. at-Tirmidzi).

Hadis Nabi Muhammad  saw:

عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللهُ عَنْه عَنِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِماً. قَالَ قَتَادَةُ: فَقُلْنَا لأَنَسٍ: فَالأَكْلُ ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَشَرُّ / أَوْ أخْبَثُ (رَوَاهُ مُسْلِم)

Dari Anas ra dari Nabi saw: “Bahwasanya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri. Qatadah berkata: “maka kami bertanya kepada Anas: Bagaimana dengan makan (berdiri)? Anas menjawab: “hal itu lebih dilarang/lebih jelek lagi”. (HR. Muslim).

Hadis Nabi Muhammad  saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لاَ يَشْرَبَنَّ أحَدٌ مِنْكُمْ قَائِماً، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِيء” (رَوَاهُ مُسْلِم)

Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda:“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia memuntahkan.” (HR. Muslim)

Memperhatikan: Pendapat Ulama sebagai berikut:

  1. Pendapat Imam an-Nawawi dalam syarh Shahih Muslim:

لَيْسَ فِي هَذِهِ الأَحَادِيث بِحَمْدِ اللَّهِ تَعَالَى إِشْكَالٌ، وَلاَ فِيهَا ضَعْفٌ، بَلْ كُلُّهَا صَحِيحَةٌ، وَالصَّوَابُ فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُولٌ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيْهِ. وَأَمَّا شُرْبُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَانٌ لِلْجَوَازِ، فَلاَ إِشْكَالَ وَلاَ تَعَارُضَ، وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ. وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخاً أَوْ غَيْرَهُ فَقَدْ غَلَطَ غَلْطاً فَاحِشًا. وَكَيْفَ يُصَارُ إِلىَ النَّسْخِ مَعَ اِمْكاَنِ الجَمْعِ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ، لَوْ ثَبَتَ التَّارِيْخُ وَأَنىَّ لَهُ بِذَلِكَ وَالله أَعْلَم. فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ الشُّرْبُ قَائِمًا مَكْرُوهًا وَقَدْ فَعَلَهُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَالْجَوَاب: أَنَّ فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بَيَانًا لِلْجَوَازِ لاَ يَكُون مَكْرُوهًا، بَلْ الْبَيَان وَاجِب عَلَيْهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَيْف يَكُون مَكْرُوهًا وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّة مَرَّة وَطَافَ عَلَى بَعِيرٍ، مَعَ أَنَّ الإِجْمَاع عَلَى أَنَّ الْوُضُوءَ ثَلاثًا وَالطَّوَاف مَاشِيًا أَكْمَل، وَنَظَائِر هَذَا غَيْر مُنْحَصِرَة، فَكَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَبِّه عَلَى جَوَازِ الشَّيْء مَرَّة أَوْ مَرَّات، وَيُوَاظِب عَلَى الأَفْضَل مِنْهُ، وَهَكَذَا كَانَ أَكْثَر وُضُوئِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاثاً ثَلاثًا، وَأَكْثَر طَوَافِهِ مَاشِيًا، وَأَكْثَر شُرْبه جَالِسًا، وَهَذَا وَاضِح لا يَتَشَكَّكُ فِيهِ مَنْ لَهُ أَدْنَى نِسْبَةٍ إِلَى عِلْمٍ. وَاللَّهُ أَعْلَم.

Artinya: “Tiada dalam hadis ini – alhamdulillah – suatu masalah/kesulitan, dan tidak pula terdapat kelemahan di dalamnya, bahkan semuanya shahih. Yang paling tepat dari (hadis-hadis) tersebut bahwa larangan di dalamnya bermakna makrûh tanzih. Adapun minumnya Nabi saw dalam posisi berdiri adalah untuk menunjukkan kebolehan. Dan tidak ada suatu masalah dan pertentangan. Apa-apa yang kami tegaskan disini adalah suatu yang semestinya dilakukan. Adapun yang menduga bahwa hadis (minum berdiri) mansûkh atau lainnya maka telah melakukan suatu kesalahan yang sangat jelek. Bagaimana mungkin dipergunakan jalan naskh sementara masih memungkinkan hadis-hadis tersebut untuk dijama’. Kalaupun ada penjelasan waktunya maka dari mana hal itu ia dapatkan, Allah lah yang Maha Mengetahui. Dan jikalau dikatakan: “Bagaimana mungkin minum berdiri itu makruh sementara Nabi saw telah melakukannya? Maka jawabannya adalah bahwa perbuatan Nabi saw untuk menunjukkan kebolehan maka tidaklah dapat dipandang makrûh. Akan tetapi wajib atas Nabi saw (melakukan hal itu). Bagaimana mungkin makruh, sementara telah tsâbit dari perbuatan Nabi saw bahwa beliau berwudhu hanya dengan sekali basuh dan thawaf dengan unta. Sementara menurut ijma ulama’ berwudhu dengan tiga kali basuh dan thawaf berjalan lebih sempurna. Perkara yang seperti ini tidak terbilang banyaknya. Hal ini dilakukan Nabi saw untuk menjelaskan bahwa boleh dengan sekali atau berkali-kali. Sedangkan yang senantiasa beliau lakukan adalah yang terbaik (afdhal). Demikianlah kebanyakan wudhu’ Nabi saw tiga kali basuh dan kebanyak thawafnya dengan berjalan kaki, dan kebanyakan posisi minumnya duduk. Hal ini sangat jelas dan tiadalah ragu sedikitpun padanya orang-orang yang memiliki ilmu rendah sekalipun.

Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin:

وَلاَ يُكْرَهُ الشُّرْبُ قَائِمًا وَحَمَلُوا النَّهْيَ الوَارِدَ عَلَى حَالَةِ السَّيْرِ. قُلْتُ: هَذَا الَّذِي قَالَهُ مِنْ تَأْوِيْلِ النَّهْيِ عَلَى حَالَةِ السَّيْرِ قَدْ قَالَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَالمُتَوَلِّي. وَقَدْ تَأَوَّلَهُ آخَرُوْنَ بِخِلاَفِ هَذَا. وَالْمُخْتَارُ أَنَّ الشُّرْبَ قَائِمًا بِلاَ عُذْرٍ خِلاَفُ الأَوْلىَ لِلأَحَادِيْثِ الصَّرِيْحَةِ بِالنَّهْيِ عَنْهُ فِي صَحِيْحِ مُسْلِم. وَأَمَّا الحَدِيْثَانِ الصَّحِيْحَانِ عَنْ عَلِي وَابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ قَائِمًا فَمَحْمُوْلَانِ عَلَى بَيَانِ الجَوَازِ جَمْعاً بَيْنَ الأَحَادِيْثِ.

Artinya: “Dan tidaklah makruh minum berdiri dan mereka membawa larangan itu kepada minum dalam kondisi berjalan. Menurutku, pendapat seperti itu yaitu membawa larangan minum ketika berjalan telah dikatakan sebelumnya oleh Ibnu Qutaibah dan al-Mutawalli, dan telah pula ditakwilkan dengan yang lainnya oleh orang lain. Adapun yang mukhtar (terpilih) adalah minum berdiri tanpa uzur khilâf al-awlâ (menyalahi yang utama) berdasarkan hadis-hadis yang jelas melarang sebagaimana dalam Shahih Muslim. Adapun dua hadis yang shahih dari Ali ra. dan Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Nabi saw minum berdiri menunjukkan kebolehan (jawaz) guna menggabungkan hadis-hadis tersebut.”

  • Imam asy-Syaukani dalam kitab Nail al-Awthâr:

قَالَ الْمَازِرِي…وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي أَنَّ أَحَادِيْثَ شُرْبِهِ قَائِمًا يَدُلُّ عَلَى الجَوَازِ وَأَحَادِيثِ النَّهْيِ تُحْمَلُ عَلَى الإِسْتِحْبَابِ وَالحَثِّ عَلىَ مَا هُوَ أَوْلىَ وَأَكْمَل. قَالَ: وَيُحْمَلُ الأَمْرُ بِالْقَئِ عَلَى أَنَّ الشُّرْبَ قَائِمًا يُحَرِّكُ خَلْطًا يَكُوْنَ القَيْءُ دَوَاءَهُ. وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ النَّخَعِي إِنَّماَ نَهْىَ عَنْ ذَلِكَ لِدَاءِ البَطْنِ.

Artinya: “al-Maziri berkata: Adapun pendapat yang kuat menurut saya bahwa hadis-hadis tentang minum berdiri menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis larangan menunjukkan hal yang disukai (mustahab). Sedangkan yang dianjurkan adalah yang utama dan yang terbaik. Menurutnya, adapun perintah untuk memuntahkan dikala posisi berdiri menyebabkan kesalahan dan memuntahkannya adalah obatnya. Hal ini didukung pula perkataan an-Nakha’i bahwa larangan akan hal tersebut menyebabkan penyakit di dalam perut.

  • Pendapat Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad:

وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ الشُّربُ قاعداً، هَذَا كَانَ هَدْيُهُ المُعْتَادُ وَصَحَّ عَنْهُ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الشُّرْبِ قَائِماً، وَصَحَّ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَ الَّذِى شَرِبَ قَائِماً أَنْ يَسْتَقِىءَ، وَصَحَّ عَنْهُ أَنَّهُ شَرِبَ قائماً…وَلِلشُّرْبِ قَائِماً آفَاتٌ عَدِيْدَةٌ مِنْهَا: أَنَّهُ لاَ يَحْصُلُ بِهِ الرِّىُّ التَّامُّ، ولا يستَقِرُّ فى الْمَعِدَة حتى يَقْسِمَه الكبدُ عَلَى الأَعْضَاءِ، وَيَنْزِلُ بِسُرْعَةٍ وَحِدَّةٍ إِلىَ الْمَعِدَة، فَيُخْشَى مِنْهُ أَنْ يُبْرِدَ حَرَارَتَهَا، وَيُشَوِّشَهَا، وَيُسْرِعَ النُّفُوذَ إِلىَ أَسْفَلِ البَدَنِ بِغَيْرِ تَدْرِيْجٍ، وَكُلُّ هَذَا يَضُرُّ بِالشَّارِبِ، وَأَمَّا إِذَا فَعَلَهُ نَادِراً أَوْ لِحَاجَةٍ، لَمْ يَضُرَّهُ…”.

Artinya: “dan diantara petunjuknya (nabi Muhammad saw) dalam minum adalah dalam kondisi duduk. Hal ini merupakan petunjuk yang telah menjadi kebiasaan. Telah shahih dari Nabi saw larangan minum berdiri dan telah shahih dari beliau memerintahkan kepada setiap orang yang minum berdiri untuk memuntahkannya. Dan telah shahih daripadanya bahwa beliau minum berdiri… Dan minum berdiri memiliki beragam bahaya sebagai berikut: “Minum berdiri tidak menghasilkan kenyang yang sempurna, dan tidak tetap di dalam lambung sehingga disalurkan jantung kepada anggota tubuh. Minum berdiri menyebabkan air turun dengan cepat dan keras kepada lambung. Maka dikhawatirkan dari minum berdiri itu mendinginkan hangatnya, dan mengganggunya, dan mempercepat aliran air ke bagian bawah tubuh tanpa bertahap. Hal ini semua membahayakan bagi orang yang minum. Namun, kalau ia melakukannya sesekali atau untuk keperluan maka tidak membahayakannya.”

Pendapat Syeikh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu:

وَيَجُوْزُ الشُّرْبُ قَائِماً، وَالأَفْضَلُ القُعُودُ.

Artinya: “Dan boleh minum berdiri, tetapi yang terbaik duduk”

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya:Memutuskan, Menetapkan:

Hukum Makan dan Minum Berdiri khilaf al-awla (menyalahi yang utama).

Demikian keputusan fatwa ini diformulasikan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia  (MUI) Provinsi Sumatera Utara. Ditetapkan       :    di Medan Pada tanggal    :    29 Januari 2013 M     17 Rabi’ul Awwal 1434H

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

4,203FansLike
3,912FollowersFollow
12,100SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles