Surah Al Ihklas adalah salah satu surah yang muhkamat yang maknanya cukup jelas tidak memerlukan kepada ta’wil/memalingkan makna kepada makna yang bukan makna sebenarnya,atau tidak perlu kepada iltifat/perpalingan kata ganti yang hadir/muhkotob, kepada yang tidak hadir/ghoib.
Berbeda dengan ayat mutasyabihat/ayat yang maknanya samar,tidak diketahui tafsiran melainkan Allah,misalnya Alif,Laam,mim diawal surah Baqarah,maka hanya Allah yang menngetahui tafsirnya meskipun sebagian ulama ad yang berusaha mencari tafsirnya.
Akan halnya surah Al ikhlas adalah salah satu surah yang maknanya cukup jelas bagi para mufassir/ahli tafsir yang mu’tabaroh/yang dapat dijadikan pedoman bagi siapa saja yang ingin mengetahuai makna dari surah Al Ikhlas.
Penafsiran yang mu’tabar Surah Al -Ikhlas adalah sebagai berikut .Katakanlah: (oleh mu ya Muhammad) Dia-lah Allâh, yang Maha Esa”.Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni: Dia Yang pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini tidak digunakan untuk menetapkan pada siapapun selain pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena Dia Maha Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsir].
Dalam kitab insanul kamil karya Abdul karim Al jily.Beliau menafsirkan ‘’Dia lah ‘’ adalah insan atau dalam hal ini adalah Muhammad (huwa) dan kata ganti ini kembali kepada kata ganti/dhomir yang ada dalam fi’il amar ‘’katakan oleh mu (anta) ’’,jika tidak kembali dhomir itu kepada dhomir yang dalam kalimat ‘’qul’’ yaitu (anta),kemana lagi dhomir itu akan dikembalikankan ? Maka dalam hal ini kata ganti ketiga /dhomir huwa /Dia ini, menempati posisi kata ganti kedua yaitu (Engkau),sama artinya begini;katakanlah olehmu ya Muhammad! Engkau adalah “Allah yang Esa”.dalam ilmu balaghah ini namanya iltifat.Demikian tafsir Al jily.
Penafsiran ini sangat fatal kesalahannya dengan berbagai alasan .
Pertama ;jika terhenti perkataan itu hanya sebatas katakanlah oleh Mu Ya Muhammad Dia Muhammad,sampai disitu saja,perkataan itu sama sekali tidak dapat difahami atau kalam yg tidak sempurna,dengan kata lain,perkataan apa yang mau disampaikan,karena isi perkataan (maquulul qaul) nya tidak ada.
Kedua ;Jika disambung kepada kalimat setelahnya,maka artinya adalah;katakanlah oleh mu Ya Muhammad Engkau adalah Allah yang Esa,Tempat Mengagantungkan nasib,Tidak beranak dan di diperanakkan dan seterusnya hingga akhir surah…ini lebih fatal lagi bisa jadi musyrik.
Ketiga;Mengembalikan dhamir huwa kepada anta atau Nabi Muhammad Saw. adalah keliru, Dhamir yang ada dalam fiil amar (qul) adalah mustatir wajib, dengan arti kata tidak memerlukan penafsiran kalimat atau dhamir yang ada sesudahnya.Dhamir zhahir yang ada sesudah qul adalah dhamir syan ( (huwa) yang marja’nya kepada kalimat sesudahnya, sekaligus sebagai penjelasan dan permulaan kalimat atau mubtada;
Keempat;dhamir sya’n yang marja’nya adalah kalimat sesudahnya berfungsi sebagai penafsiran terhadap dhamir itu sendiri, misalnya: Huwa Allah Ahad. Maka kata Allahu Ahad (Allah yang Maha Esa) menerangkan kata huwa; Allah Ash-Shamad juga menerangkan dhamir saan huwa, sehingga akhir ayat: Allah tempat bergantung, Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, Allah tidak ada yang sebanding dengan-Nya;
Kelima;Jika huwa dikembalikan ke dalam dhamir yang tedapat di dalam qul sehingga berarti “Dia” “Engkau” Muhammad adalah Allah Yang Maha Esa dan seterusnya. Ini tidak sesuai dengan kaedah Bahasa Arab. Dengan alasan mengembalikan dhamir ghaib kepada mukhathab dan berdalih sebagai iltifat (memalingkan/mengalihkan) adalah keliru, karena iltifat dari pada dhamir ghaib kepada mukhathab harus subjek yang sejenis, sedangkan Nabi Muhammad saw. adalah makhluk dan Allah Swt. adalah khaliq.
Di dalam Kitab At-Tafsir Al-Kabir: Mafatih Al-Ghaib karya Imam Fakhrurrazi (w. 544-604 H) Jilid 32, hal. 164-165 disebutkan: Penafsiran Qul Huwa Allah Ahad melahirkan tiga aliran bagi orang yang berjalan menuju Allah Swt., yaitu:
Maqam Al-Muqarrabin: yaitu maqam yang tertinggi, memandang kalimat huwa adalah isyarat mutlak kepada segala yang maujud, akan tetapi meskipun isyarat itu mutlak secara otomatis berpaling kepada musyarah ilaihi/tunjukan mu’ayyan (Allah Swt.), dengan alasan bahwa segala yang maujud selain Allah pada hakikatnya adalah ma’dum (tiada), maka tidak diperlukan mumayyiz atau nama, dengan arti kata jika dikatakan huwa tanpa menyebut kalimat Allah setelahnya maka kalimat huwa itu tidak bisa dikembalikan kepada makhluk, karena tidak mungkin adanya dua yang wajib al-wujud. Oleh sebab itu, kalimat huwa adalah kinayah dari nama Allah yang a’zham.
Maqam Ashab Yamin: yaitu mereka yang menyaksikan maujudnya makhluk dan juga maujudnya Allah, maka terjadilah banyak yang maujud. Oleh sebab itu harus dibedakan dengan memberi nama maujud yang hakiki, yaitu Allah Swt. dan maujud yang mumkin yaitu makhluk (selaian Allah Swt.)
Maqam Ashab Syimal: adalah maqam yang paling rendah dan hina, yaitu: menyakini bahwa yang maujud abadi itu banyak dan menyatu di dalam wujud Allah Swt. Adapun lafal ahad membatalkan keyakinan yang menyaksikan bahwa maujud yang qadim itu banyak.
Dari tiga penafsiran di atas yang sesuai dengan pemahaman Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah Maqam Al-Muqarrabin dan Maqam Ashab Yamin. Adapun maqam Ashab Syimal adalah penafsiran yang menyimpang dari akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, sebab mereka meyakini maujud hakiki itu bukan hanya satu (Allah Swt.) saja. Adapun pemahaman/keyakinan bahwa adanya maujud selain Allah seperti ungkapan: “Muhammad adalah Allah” menyebabkan banyaknya maujud yang qadim dan bertentangan dengan penafsiran yang muktabaratau dengan kata lain penafsiran ini adalah menyimpang.
Oleh H.Muhammad Nasir Lc,MA. (Anggota komisi Fatwa MUI Sumatera Utara)
Wallahu’alam bishawab.






