Pentingnya dalam mengkaji secara kritis tentang literatur mengenai larangan dan izin bagi perempuan haid serta perkembangan pemahamannya dalam kitab-kitab fiqh klasik, Al-Quran, Hadis, dan fatwa ulama. Mencakup dalam berbagai larangan seperti shalat, puasa, membaca Al-Quran, dan thawaf, serta izin seperti membaca dzikir dan doa. Relevansi dalam konteks modern mempertimbangkan kesehatan, aktivitas sosial, dan pendidikan, serta fatwa kontemporer. Dengan kajian literatur bahwa dalam pemahaman medis modern dan teknologi dapat memperjelas hikmah dari hukum haid dan memastikan relevansinya dalam kehidupan modern.
Haid dapat diartikan ialah ketentuan Allah Swt., yang berlaku bagi wanita ketika mereka menginjak remaja, dan awal di mana mereka dibebani dengan berbagai hukum agama. Banyak ayat dalam Al-Quran yang membahas menegnai haid, seperti ayat 222 dari surah Al-Baqarah, yang berbunyi, “Jika mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah kotoran.” Oleh karena itu, janganlah kamu mendekati perempuan yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Dalam hukum Islam, ada tiga jenis darah yang keluar dari rahim wanita: haid, nifas, dan istihadhah. Haid secara bahasa berarti “mengalir” dan merupakan darah yang keluar dari rahim wanita dalam kondisi sehat, bukan akibat proses melahirkan, dan dalam jangka waktu tertentu. Sebagian besar ulama menetapkan bahwa usia baligh bagi wanita adalah di atas 9 tahun menurut kalender Hijriah. Jika darah keluar sebelum usia tersebut, maka dianggap sebagai istihadhah, bukan haid.
Hukum perempuan haid telah diatur dalam Al-Quran dan Hadis, serta dikembangkan melalui ijtihad oleh para ulama dari berbagai mazhab. Namun, perbedaan interpretasi dan pendekatan dalam memahami nash-nash syar’i tersebut sering kali menghasilkan variasi pendapat yang cukup luas. Dalam hal ini pada kajian yang komprehensif dan mendalam untuk memahami dasar-dasar hukum, argumentasi, serta implikasi dari larangan dan izin bagi perempuan haid dalam Islam.
Beberapa hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh perempuan yang sedang haid menurut hukum Islam, meliputi:
- Larangan Shalat dalam sabda Rasulullah Saw.,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ
“Jika masa haidmu telah tiba, maka tinggalkanlah shalat” (HR. Bukhari).
Menurut Ibnu Mundzir, Para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang menjalani masa haid tidak perlu melakukan shalat. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu mengqadha shalat yang terlewat selama masa haid. Selain itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adzah, yang mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada Aisyah, bagaimana hukum wanita haid yang mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” “Apakah Engkau wanita yang merdeka?” kata Aisyah. Saya menjawab, “Tidak, tetapi saya hanya bertanya.” Kemudian Aisyah berkata, “Kami pernah menjalani haid pada masa Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat” (HR. Muslim).
- Larangan Puasa bagi Perempuan
Perempuan yang sedang dalam masa haid tidak boleh berpuasa. Berdasarkan pada sabda Rasulullah Saw., “Bukankah salah seorang di antara mereka (kaum wanita) apabila menjalani masa haid tidak mengerjakan shalat dan tidak pula berpuasa?” Para sahabat wanita menjawab, “Benar.” (HR. Al-Bukhari). Namun demikian, perempuan yang menjalani masa haid harus mengqadha puasa yang ditinggalkan setelah selesai masa haidnya. Perempuan yang sedang haid harus mengqadha puasanya, menurut Ibnu Mundzir.
- Larangan dalam Membaca Al-Quran
Perempuan yang sedang haid bisa membaca Al-Quran, tetapi mereka tidak diizinkan menghafal mushafnya. Selain itu, ada hadits marfu yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Ibnu Umar, yang mengatakan, “Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Quran.” Ismail bin Iyyas adalah salah satu orang yang termasuk dalam sanad hadits ini. Di dalam kitabnya yang berjudul Adh-Dhu’afa Al-Kabir, Al-Aqili menyebutkan hadits ini, mengatakan, “Telah diberitahukan kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad, ia mengatakan, “Aku pernah mengemukakan sebuah hadits kepada ayahku, bahwa kami diberitahu oleh Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi, di mana beliau bersabda, “Wanita yang tengah menjalani masa haid dan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.” Kemudian ayahku berkata: “Hadits ini tidak dapat diterima, karena Ismail bin Iyyas merupakan perawi yang ditolak.”
- Larangan Masuk Masjid
Semua ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh berdiam di masjid kecuali karena kebutuhan mendesak. Ini karena Nabi meminta perempuan haid untuk tetap terpisah di musholla (tempat shalat hari raya). Perempuan diperintahkan untuk menjauh, bahkan di musholla dan masjid. Selain itu, melewati masjid yang sama dengan berdiam diri di dalamnya, dan itu tidak diizinkan.
- Larangan Menyentuh Al-Quran
Menyentuh Al-Quran ialah haram bagi perempuan yang sedang haid. Ini berdasarkan firman Allah Swt:
لَّا يَمَسُّهٗۤ اِلَّا الۡمُطَهَّرُوۡنَؕ
“Tidak menyentuhnya (Al-Quran), kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waqiah: 79) dan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah kamu menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Al-Atsram)
- Larangan Thawaf
Selain itu, perempuan muslimah sedang dalam masa haid, mereka dilarang melakukan thawaf, menurut sabda Nabi kepada Aisyah, “Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kamu tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci.” (Muttafaqun Alaihi).
- Larangan Berhubungan Badan
Selama hari-hari di mana seorang perempuan sedang haid, tidak diperbolehkan untuk bersetubuh. Ini karena Allah Swt., berfirman,
فَاعۡتَزِلُوۡا النِّسَآءَ فِى الۡمَحِيۡضِۙ وَلَا تَقۡرَبُوۡهُنَّ حَتّٰى يَطۡهُرۡنَۚ
“Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari mereka pada waktu haid dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka benar-benar suci.” (Al-Baqarah: 222).
Izin bagi Perempuan Haid dalam Situasi Tertentu
Selain hal-hal yang dilarang oleh hukum Islam, ada pula hal-hal yang diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita yang sedang haid, yaitu:
- Membaca Dzikir dan Doa
Sebagian besar orang percaya bahwa perempuan yang sedang haid dan junub boleh berdzikir dan membaca Al-Quran. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, serta Asy-Syafi’i dan Ahmad yang terkenal, dan diperkuat oleh riwayat Ummu “Athiyyah”, yang mengatakan,
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ , حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا , حَتَّى تَخْرُجَ الْحُيَّضُ , فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ , يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
“Kami diperintahkan untuk keluar rumah pada hari raya, sehingga kami membawa anak-anak gadis bahkan wanita haid dan menempatkan mereka di belakang kaum muslimin (yang mengikuti shalat id).” (HR. Bukhari).
Hadis ini menyatakan bahwa perempuan yang sedang haid juga mengucapkan takbir dan berdzikir kepada Allah Swt. Pendapat ini didukung oleh hadis berikut:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوفِي
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang haji kecuali tawwaf di Ka’bah.” (HR. Muslim). Semua orang tahu bahwa orang yang haji pasti berdzikir dan membaca Al-Quran.
- Melakukan Sujud Tilawah Ketika Mendengar Ayat Sajadah
Karena hal itu bukanlah shalat dan tidak disyaratkan dalam keadaan suci, seorang perempuan yang sedang haid dapat melakukan sujud tilawah ketika mendengarkan ayat-ayat Sajdah. Suatu kali, Nabi Muhammad bersujud saat membaca surat An-Najm dan sampai pada ayat Sajdah. Orang-orang Islam, musyrik, jin, dan manusia mengikutinya. Sebagaimana disebutkan dalam Mushannaf Abdul Razaq, Madzhab Zuhri dan Qatadah juga sependapat dengan hal itu.
- Suami Membaca Al-Quran di Pangkuan Istrinya yang Sedang Haid
Seorang suami dapat membaca Al-Qur’an ketika istrinya sedang haid di pangkuannya, menurut riwayat “Aisyah”, yang mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِى حِجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآن
“Dahulu Nabi Saw,membaca Al-Qur’an sedangkan kepalanya berada dalam pangkuanku dan ketika itu aku sedang haid.” (HR. Aisyah)
- Ikut Menghadiri Sholat Ied
Mereka diizinkan untuk menyaksikan dan menghadiri shalat “Ied”, tetapi mereka tidak boleh melaksanakannya. Rasulullah Saw., pernah bersabda,
عَنْ أُمَّ عَطِيَّةَ قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَنْ تُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحَيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الْمُصَلَّى وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ.
“Dari Ummu Athiyyah berkata: ‘Rasulullah memerintahkan kami untuk mengeluarkan gadis-gadis menjelang usia baligh, wanita-wanita yang tengah haid dan gadis-gadis pingitan pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wanita yang haid, mereka menjauhi tempat sholat dan menghadiri kebaikan dan undangan kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
- Makan dan Minum dengan Istri yang Haid
Diceritakan oleh “Aisyah”,
كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِي
“Aku pernah minum saat aku sedang haid, lalu aku berikan kepada Rasulullah Saw, lalu dia meletakkan mulutnya di tempat bekas mulutku, lalu ia minum. Pernah juga aku menggigit-gigit daging yang masih melekat di tulang, lalu dia berikan kepada Rasulullah Saw, dan dia kemudian meletakkan mulutnya di tempat bekas mulutku.” (HR. Jamakah, dengan pengecualian Bukhari dan Tirmidzi).
Menurut Syarih, hadis tersebut menunjukkan bahwa ludah perempuan yang sedang haid adalah suci, begitu juga liurnya yang terdapat pada makanan dan minuman. Dan saya tidak mengetahui adanya ketidaksepakatan dalam hal ini.
- Tidur dengan Istri yang Sedang Haid
Kami mendengar dari Abu Ath-Thahir bahwa Ibnu Wahb menceritakan kepada kami dari Makhramah. Harun bin Sa’id Al-Ali dan Ahmad bin Isa juga menceritakan bahwa Ibnu Wahb menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari Kuraib Maula Ibn Abbas, ia berkata: “Aku mendengar Maimunah, istri Nabi Saw, berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَضْطَجِعُ مَعِى وَأَنَا حَائِضٌ وَبَيْنِى وَبَيْنَهُ ثَوْب
“Rasulullah Saw pernah berbaring bersamaku saat aku sedang haid, sementara antara diriku dan beliau hanya ada sepotong busana.” (HR. Muslim)
Relevansi Penerapan Hukum Haid dalam Kehidupan Modern
Penerapan hukum haid dalam kehidupan modern memerlukan pemahaman yang komprehensif dan adaptif mengingat perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang terjadi. Berikut beberapa aspek relevansi hukum haid dalam konteks kehidupan modern:
- Kesehatan dan Kesejahteraan Perempuan
Larangan tertentu seperti puasa saat haid memiliki dasar medis yang relevan, mengingat menstruasi dapat mempengaruhi kondisi fisik perempuan. Puasa dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan kelelahan, sehingga larangan ini dapat dilihat sebagai bentuk perlindungan terhadap kesehatan perempuan. Selain itu, istirahat dari ibadah yang menuntut fisik seperti shalat juga dapat membantu mengurangi tekanan fisik dan mental selama haid.
Pemahaman medis modern tentang menstruasi dan kesehatan reproduksi dapat membantu memperjelas hikmah dari beberapa larangan dan izin dalam hukum Islam. Pendekatan ini bisa memperkuat argumen bahwa hukum-hukum tersebut dibuat dengan mempertimbangkan kesejahteraan perempuan.
- Aktivitas Sosial dan Pendidikan
Pada konteks modern, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan komunitas. Beberapa ulama kontemporer memperbolehkan perempuan haid untuk menghadiri acara-acara di masjid yang sifatnya non-ibadah, seperti seminar, diskusi, atau kegiatan sosial. Hal ini memungkinkan perempuan untuk tetap aktif dan terlibat dalam kehidupan komunitas mereka tanpa harus melanggar aturan-aturan agama.
Dengan kemajuan teknologi, banyak kegiatan pembelajaran agama yang bisa dilakukan secara daring. Hal ini memungkinkan perempuan yang sedang haid untuk tetap mengikuti pelajaran atau kajian tanpa harus hadir secara fisik di masjid. Ini juga membuka peluang bagi penyusunan materi pembelajaran yang ramah terhadap kondisi perempuan haid.
- Fatwa Kontemporer dan Ijtihad
Beberapa ulama dan lembaga fatwa kontemporer telah mencoba menafsirkan kembali hukum-hukum terkait haid dalam konteks kehidupan modern. Mereka mempertimbangkan perubahan kondisi sosial dan budaya serta kemajuan ilmu pengetahuan. Misalnya, fatwa-fatwa baru yang membolehkan perempuan haid untuk membaca Al-Quran melalui aplikasi digital tanpa menyentuh mushaf fisik.
Kemajuan teknologi memungkinkan perempuan untuk tetap terhubung dengan praktik keagamaan meskipun sedang haid. Aplikasi mobile, platform pembelajaran online, dan sumber daya digital lainnya dapat menyediakan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan modern sambil tetap mematuhi hukum Islam.
Larangan dan izin bagi perempuan haid dalam hukum Islam dengan menggunakan metode kepustakaan. Berdasarkan kajian literatur, ditemukan bahwa larangan dan izin tersebut berakar pada sumber-sumber utama dalam Islam, yaitu Al-Quran dan Hadis, serta pandangan ulama dari berbagai mazhab. Hukum-hukum ini mencakup larangan melakukan shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, memasuki masjid, dan melakukan thawaf, serta beberapa izin seperti membaca dzikir dan doa, sujud tilawah, dan ikut menghadiri shalat Ied. Dalam hukum-hukum terkait haid dalam Islam tidak hanya berfokus pada aspek spiritual tetapi juga mempertimbangkan kondisi fisik dan kesejahteraan perempuan. Kemudian pada konteks kehidupan modern, penerapan hukum ini memerlukan adaptasi dan pemahaman yang lebih luas. Faktor-faktor seperti kesehatan reproduksi, partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial dan pendidikan, serta penggunaan teknologi telah mempengaruhi cara hukum ini diterapkan. Para ulama dan lembaga fatwa kontemporer berupaya untuk menafsirkan kembali hukum-hukum tersebut dengan mempertimbangkan perubahan sosial dan budaya serta kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini memungkinkan perempuan untuk tetap berpartisipasi dalam kehidupan keagamaan dan sosial mereka sambil tetap mematuhi hukum Islam. Dengan demikian, pentingnya untuk mengetahui dalam kajian literature menegani izin bagi perempuan haid dalam hukum Islam untuk diketahui hukumnya yang semestinya dipahami secara baik oleh seluruh muslimah.






