muisumut.or.id-Medan, Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, melalui Bidang/Komisi Hukum HAM dan Perundang-Undangan, menggelar Sosialisasi Penerapan Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Lembaga-Lembaga Yang Ada di Dalamnya. Kegiatan berlangsung di Aula MUI Sumatera Utara, pada Sabtu, 04 Muharram 1445 H/22 Juli 2023.
Sambutan Ketua Umum MUI Sumatera Utara, Dr. H. Maratua Simanjuntak, “Kini, mari kita bahas tentang undang-undang zakat di Indonesia. Pelaksanaan zakat memang wajib, tetapi undang-undang tentang zakat tidak mewajibkan muzakki (orang yang wajib berzakat) untuk berzakat kepada lembaga tertentu. Namun, di Malaysia, undang-undangnya mewajibkan pembayaran zakat ke pusat zakat. Di Indonesia, bayar zakat lebih bersifat sukarela, dan itu tergantung pada pengurus Baznas di pusat dan daerah.” ungkap Dr. H. Maratua.
Lebih lanjut, Kata Ketua Umum, Saat ini, kami berusaha meningkatkan pemahaman tentang undang-undang zakat dan mengarahkan pembayaran zakat ke lembaga yang terpercaya. Sebagai contoh, di Malaysia, undang-undangnya mengarahkan pembayaran zakat ke pusat zakat, sehingga pengurus zakat dapat mengelolanya dengan lebih baik dan teratur.
Tentu masih banyak aspek yang perlu diperbaiki dalam undang-undang zakat, terutama dalam hal pengelolaan zakat dan penyelesaian perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat. Kita akan mengusulkan revisi undang-undang zakat jika diperlukan dengan ridho Allah subhanahu wa ta’ala.

Acara ini juga dihadiri oleh dua narasumber yang kompeten di bidangnya. Narasumber pertama, Prof. Dr. H. Mohd. Hatta, MA, yang juga merupakan Ketua BAZNAS Provinsi Sumatera Utara dan Ketua Bidang Dakwah MUI Sumatera Utara, memberikan paparan tentang pendayagunaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2011.
Dalam paparannya, Prof. Dr. H. Mohd. Hatta, MA, menyoroti pentingnya pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dalam rangka menangani fakir miskin dan meningkatkan kualitas umat. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 27 undang-undang tersebut, akan dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Beliau juga memaparkan tentang syarat-syarat pendayagunaan zakat untuk usaha produktif berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 52 tahun 2014. Syarat-syarat tersebut antara lain, mustahik telah memenuhi kebutuhan dasar, memenuhi ketentuan syariah, menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi mustahik, serta mustahik berdomisili di wilayah kerja lembaga pengelola zakat. Untuk mendapatkan pendayagunaan zakat, penerima manfaat harus memenuhi kriteria mustahik dan mendapatkan pendampingan dari amil zakat yang berada di wilayah domisili mustahik.
Dalam konteks pendistribusian zakat, Prof. Dr. H. Mohd. Hatta, MA, menyebutkan bahwa zakat dapat digunakan untuk tujuan konsumtif, bersifat jangka pendek, dan memenuhi kebutuhan mendesak. Namun, ketika zakat didayagunakan untuk tujuan produktif, ia akan bersifat jangka panjang dengan fokus meningkatkan nilai dan mencapai kemaslahatan umum.
Narasumber kedua, H. Ahmad Qosbi, S.Ag., MM, yang merupakan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, membahas perkembangan zakat dalam sejarah Islam dan potensinya sebagai pilar ekonomi nasional. Beliau menjelaskan bahwa sebelum Islam, masyarakat Arab cenderung menumpuk harta, kekayaan, dan kekuasaan, yang menyebabkan kesenjangan sosial yang tinggi, bahkan adanya praktik perbudakan.
Namun, dengan hadirnya Islam, masyarakat diajak untuk tolong-menolong dan berbagi dengan sesama, sehingga konsep hak milik diakui secara terbatas. Artinya, kepemilikan harta bukanlah mutlak untuk dimiliki sendiri, melainkan harus diakui hak orang lain, seperti dalam prinsip zakat.
Perkembangan Islam menunjukkan pentingnya pemberdayaan ekonomi melalui zakat. Khalifah Umar bahkan memerangi orang yang enggan membayar zakat, karena zakat dianggap sebagai sumber ekonomi bagi umat.
Prof. Dr. H. Ahmad Qosbi, S.Ag., MM, juga menggambarkan potensi zakat sebagai pilar ekonomi nasional. Beliau menyebut beberapa hal, seperti pengelolaan zakat secara profesional yang dapat berkontribusi pada peningkatan perekonomian dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di negara-negara Timur Tengah, sumber perekonomian dan APBN dari zakat memiliki peran yang signifikan.
Zakat juga dapat berperan sebagai ekonomi swadaya dalam struktur ekonomi nasional, yang memiliki potensi besar dalam mengentaskan kemiskinan. Pengembangan manajemen zakat secara profesional dalam sektor strategis seperti kredit mikro, portofolio keuangan syariah, dan investasi langsung, mampu meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam upaya pengembangan zakat dan wakaf di Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, terdapat program pengembangan zakat wakaf yang diusulkan untuk tahun anggaran 2023. Program-program ini termasuk pelaksanaan audit syariah terhadap lembaga pengelola zakat terakreditasi, literasi zakat dan wakaf, pemetaan program pemberdayaan zakat, serta berbagai kegiatan lainnya untuk meningkatkan manfaat zakat bagi masyarakat.
Untuk mencapai kinerja optimal dalam pengelolaan zakat, Prof. Dr. H. Ahmad Qosbi, S.Ag., MM, menekankan beberapa hal penting. Pembentukan lembaga pengelola zakat (OPZ) perlu terus disosialisasikan agar masyarakat dapat memahami tugas dan fungsi dari OPZ. Dalam upaya mengelola zakat secara produktif, diperlukan usaha dari pengurus untuk mengumpulkan dan memanfaatkan dana zakat secara maksimal.
OPZ juga harus mendapatkan dukungan dari umat Islam, terutama dari ulama dan tokoh masyarakat. Orang-orang yang ditunjuk sebagai pengelola zakat harus memiliki sifat amanah, memahami hukum syariah tentang zakat, dan menguasai bidang tugasnya secara profesional dan transparan.
Selain itu, lembaga pemerintah, seperti Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kementerian Agama Kabupaten/Kota, dan pemerintah daerah, juga harus berperan aktif dalam melakukan sosialisasi dan membuat kebijakan terkait wakaf untuk mendorong pengembangan zakat dan wakaf secara berkelanjutan. (Yogo Tobing)






