Medan, 26 Oktober 2025 – muisumut.or.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara menggelar Muzakarah Fatwa pada Ahad, 26 Oktober 2025 di Aula MUI Sumut. Kegiatan ini menghadirkan Dr. H. Muhammad Nasir, Lc., M.A., Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut, sebagai narasumber dengan pembahasan tema “Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ wa Sifat.”
Dalam pemaparannya, Dr. Nasir menjelaskan bahwa tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada–yuwahhidu–tauhidan, yang berarti menjadikan sesuatu menjadi satu. Secara istilah, tauhid berarti mengesakan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan-Nya, baik dalam Rububiyah, Uluhiyah, maupun Asma’ wa Sifat.
Ia menjelaskan, Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur seluruh alam semesta. Tauhid Uluhiyah berarti mengesakan Allah dalam ibadah, yakni semua bentuk penghambaan hanya ditujukan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Sedangkan Tauhid Asma’ wa Sifat adalah keyakinan terhadap kesempurnaan nama dan sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Dr. Nasir juga menegaskan pentingnya memahami ketiga aspek tauhid ini secara utuh agar tidak muncul kesalahpahaman dalam akidah. Ia menjelaskan bahwa Allah berbeda dari makhluk dalam segala hal, sebagaimana ditegaskan dalam sifat mukhalafah lil hawadits, yakni Allah tidak menyerupai makhluk-Nya.
Dalam penjelasannya, Dr. Nasir memaparkan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga bagian seperti yang dikenal sekarang berawal dari pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa Sifat. Namun, ia menilai pembagian ini tidak dikenal pada masa Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Menurutnya, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, tauhid secara umum terbagi menjadi tiga pokok besar: Ilahiyyat (sifat-sifat Allah), Nubuwwat (kenabian), dan Ghaybiyyat (hal-hal gaib).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah, Rububiyah dan Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan satu kesatuan dalam pengesaan Allah. Pemisahan konsep ini justru dapat menimbulkan kekeliruan teologis dan membuka ruang bagi penafsiran yang salah terhadap praktik keagamaan tertentu, seperti tawassul dan istighatsah, yang sebenarnya tidak keluar dari prinsip tauhid.
Menutup kajiannya, Dr. Nasir mengingatkan bahwa tauhid tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga harus tercermin dalam keikhlasan dan penghambaan sepenuhnya kepada Allah SWT.






