Friday, October 3, 2025
spot_img

Sikap Kita terhadap Habaib

Dr. Hunsel Anwar Matondang, M.Ag
(Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sumatera Utara)
Pertanyaan:
Pak Ustaz, hari ini, baik di media sosial maupun dipercakapan publik pada media lainnya diperbincangkan tentang keberadaan para Haba`ib. Sebab, ditemukan banyaknya ungkapan ungkapan sebahagian oknum yang menisbatkan diri sebagai haba`ib yang bersikap ghuluw (ekstrim/ tanpa membuktikan silsilahnya dan beranggapan memiliki kelebihan seperti para wali). Karena itu kami ingin bertanya. Siapakah sebenarnya haba`ib yang dimaksud di Nusantara ini dan bagaimana sikap kita terhadap mereka?
Jawaban:
Kata haba`ib (حبائب) merupakan jamak dari habib (حبيب), yaitu orang-orang yang dicintai atau dikasihi. Istilah ini merupakan sebutan (gelar) kehormatan bagi dzurriyat nabi Saw dari jalur Sayyidina Husein, ironisnya ada sekelompok orang yang mengklaim dirinya sebagai haba`ib akan tetapi tidak membuktikan silsilah keturunannya yang tersambung sampai kepada Rasulullah Saw.
Pada mulanya gelar tersebut digunakan oleh para Syaikh dari keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dikenal juga dengan sebutan Syarif (jalur dari dzurriyat Sayyidina Hasan). Namun, secara evolutif menjadi gelar untuk semua keturunan Ba ‘Alawi yang tinggal di lembah Hadhramaut, Yaman, Asia Tenggara, dan Pesisir Swahili di Afrika Timur. Di Nusantara, semua hab`ib atau yang mengaku keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut tersebut. (referensi)
Adapun mengenai kebenaran silsilah mereka bersambung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak, parapakar sejarah berbeda pendapat. Oleh sebab itu, dalam masalah ini, kita serahkan saja kepada bukti-bukti penelitian yang dilakukan para pakar. Namun sebagaimana yang dikatakan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad di dalam Fadhlu Ahli al-Bait bahwa haram hukumnya mengaku sebagai Ahlul Bait tetapi ia bukan dari keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika mereka benar keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentunya kita wajib memuliakan mereka dari sisi nasabnya dan memberikan hak-hak mereka sebagai zurriyat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya boleh memberikan hadiah kepada mereka dan haram memberikan zakat dan sedekah kepada mereka. ([Asy Syari’ah 5/2276]). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي
(Dan cintailah ahli baitku karena kecintaan kepadaku) (HR. Al-Hakim, No. 4716).
Namun demikian, kita tidak boleh ghuluw (berlebihan) terhadap mereka. Ucapan, prilaku, perbuatan mereka yang berkaitan dengan ajaran Islam tidak serta merta dianggap benar melainkan setelah melalui pertimbangan dalil-dalil syar’iyah.
Kemuliaan nasab harus sejalan dengan kemuliaan pada ketaqwaan. Kemuliaan terakhir inilah yang bersifat hakiki, Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
(Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling taqwa) (Q.S. Al Hujurat: 13)
Walaupun demikian, jika mereka bukan keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selagi mereka memiliki akhlak al-karimah maka kita berkewajiban menghormati dan memuliakan mereka sebagai seorang muslim.
2. Pertanyaan:
Ustaz, ada sebagian orang merasa takut untuk menambah amal ketaqwaannya. Karena, jika orang itu semakin taqwa, maka akan semakin besar cobaannya. Dengan, pemahaman itu, ia tidak berani menambah amalnya. Ini menjadi dilemtais menurut penilaian kami. Oleh sebab itu kami bertanya, Berdasarkan hal tersebut. Benarkah bersikap seperti itu bagi seorang muslim ? Kemudian, Apa perbedaan antara ujian dan `iqab dari Allah ?
Jawaban:
Setiap manusia di dunia ini pasti diuji oleh Allah. Sebab dunia adalah dar al-ibtila` (tempat ujian) sementara akhirat adalah dar al-jaza` (tempat manusia mendapat balasan dari ujian tersebut). Oleh sebab itu, pada hakikatnya setiap saat kita diuji oleh Allah, baik kita bertaqwa ataupun bermaksiat. Allah berfirman di dalam al-Qur`an:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
(Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar). (Q.S. Al-Baqarah: 155)
Allah tidak akan memberikan ujian dan beban kepada kita kecuali sesuai dengan kadar kemampuan dan keimanan kita. Oleh sebab itu, seseorang tidak perlu khawatir dengan ujian tersebut, sebab Allah akan memberikan ujian itu sesuai dengan kemampuan kita memikulnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur`an:
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
(Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya). (Q.S. Al-Baqarah: 286)
Dalam sabda Nabi juga dikatakan bahwa ujian itu sesuai dengan kadar keimanan dan keagamaan kita:
فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ
(Seseorang diuji berdasarkan ketaatannya kepada ajaran agamanya. Jika ia menjalankan agama itu dengan sungguh-sungguh, maka ujian baginya juga akan keras; jika agamanya lemah maka ujian juga akan lemah sesuai dengan ketaatannya kepada ajaran agamanya). (HR. At-Tirmizi: No. 2398)
Dalam pada itu, ujian berat yang diberikan Allah tersebut adalah sebagai wasilah untuk meninggikan derajat kita di sisi Allah, atau sebagai penghapus dosa-dosa kita. Oleh sebab itu pada hakikatnya ujian adalah karunia Allah kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya. Nabi bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا
(Diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila Allah menghendaki kebaikan untuk hamba-Nya maka Dia akan menyegerakan untuknya hukuman di dunia”). (HR. At-Tirmidzi, no. 2319)
Nabi juga bersabda:
إنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى
(Sesungguhnya seorang hamba jika telah ditentukan padanya suatu tingkatan (di Surga) yang mana dia belum bisa meraihnya dengan amalnya, maka Allah akan menimpakan kepadanya musibah berkaitan dengan dirinya, hartanya atau anaknya, kemudian Allah jadikan dia bisa bersabar atas musibah tersebut sehingga dengan sebab tersebut Allah menyampaikannya kepada tingkatan (di Surga) yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2686)
Perbedaan ujian (ibtila`) dan hukuman (‘uqubah) adalah perbedaan antara umum dan khusus. Ujian (ibtila’) itu bersifat umum, sebab ujian (ibtila`) akan ditimpakan Allah kepada orang yang beriman dan taat kepada-Nya dan juga kepada orang kafir dan ahli maksiat. Sementara hukuman (`iqab) hanya terjadi kepada orang kafir atau orang yang beriman yang melakukan kemaksiatan.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

4,203FansLike
3,912FollowersFollow
12,100SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles