Saturday, December 20, 2025
spot_img

HUKUM UMAT ISLAM MENGIKUTI KEGIATAN SOSIAL-KEAGAMAAN NON-MUSLIM DI DAERAH MINORITAS MUSLIM OLEH: Prof. Dr. Nawir Yuslem, MA

PENDAHULUAN

Permasalahan interaksi sosial antara umat Islam dengan pemeluk agama lain merupakan isu yang telah ada sejak zaman Nabi SAW. Dalam konteks Indonesia modern, khususnya di wilayah-wilayah di mana umat Islam berada dalam posisi minoritas, persoalan ini menjadi semakin kompleks. Di beberapa daerah di Provinsi Sumatera Utara, komunitas Muslim menghadapi dilema antara menjaga kemurnian akidah di satu sisi dan memelihara keharmonisan sosial di sisi lain.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif hukum Islam terkait keterlibatan umat Islam dalam kegiatan sosial-keagamaan non-Muslim, dengan mendasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an, Hadis, pendapat ulama mazhab (khususnya mazhab Syafi’i), serta kaidah-kaidah fiqh yang relevan.

BAB I: LANDASAN TEOLOGIS KEMURNIAN AKIDAH

  1. Prinsip Tauhid dalam Islam

Islam dibangun di atas fondasi tauhid yang kokoh. Allah SWT berfirman:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan kewajiban setiap mukmin untuk menjaga kemurnian tauhid dan tidak mencampuradukkannya dengan unsur-unsur syirik.1 Al-Bagawi dalam Ma’alim al-Tanzil menyatakan bahwa ikhlas dalam beribadah kepada Allah mencakup penolakan terhadap segala bentuk ritual yang tidak didasarkan pada syariat Islam.2

  1. Larangan Mengikuti Ritual Keagamaan Non-Muslim

Allah SWT berfirman dengan tegas:

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ… لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah… Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.'” (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm menegaskan:

لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْضُرَ أَعْيَادَ الْمُشْرِكِينَ وَلَا أَنْ يُعِينَهُمْ عَلَى شَيْءٍ مِنْ دِينِهِمْ “

“Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menghadiri perayaan orang-orang musyrik dan tidak boleh membantunya dalam perkara agama mereka.” 3

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan:

يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي مَعَابِدِ الْكُفَّارِ إِذَا كَانَ فِيهَا صُوَرٌ أَوْ أَصْنَامٌ، وَيَحْرُمُ حُضُورُ أَعْيَادِهِمْ وَالْمُشَارَكَةُ فِي طُقُوسِهِمْ

“Haram bagi Muslim memasuki tempat ibadah orang kafir jika di dalamnya terdapat gambar atau patung, dan haram menghadiri perayaan mereka serta berpartisipasi dalam ritual mereka.”4

  1. Hadis tentang Larangan Menyerupai Non-Muslim

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)5

Imam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim menjelaskan hadis ini secara ekstensif:

هَذَا الْحَدِيثُ أَقَلُّ أَحْوَالِهِ أَنْ يَقْتَضِيَ تَحْرِيمَ التَّشَبُّهِ بِهِمْ، وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ يَقْتَضِي كُفْرَ الْمُتَشَبِّهِ بِهِمْ

“Hadis ini paling tidak menunjukkan pengharaman menyerupai mereka (non-Muslim), meskipun zahirnya menunjukkan kekufuran orang yang menyerupai mereka.”6

Imam As-Suyuthi dalam syarah hadis ini menyatakan bahwa larangan ini mencakup menyerupai dalam ibadah, perayaan keagamaan, dan ritual-ritual khusus mereka.7

BAB II: BATAS-BATAS TOLERANSI DALAM ISLAM

  1. Konsep Toleransi Sosial dalam Al-Qur’an

Allah SWT berfirman:

لَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan ayat ini:

هَذِهِ الْآيَةُ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي صِلَةِ الَّذِينَ لَمْ يُعَادُوا الْمُؤْمِنِينَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَإِنْ كَانُوا كُفَّارًا

“Ayat ini adalah keringanan dari Allah Ta’ala untuk menjalin hubungan baik dengan orang-orang musyrik yang tidak memusuhi orang-orang mukmin, meskipun mereka kafir.”8

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menambahkan:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُقَاتِلُونَكُمْ فِي الدِّينِ مِنَ الْأَقَارِبِ وَغَيْرِهِمْ

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan menjalin hubungan dengan orang-orang musyrik yang tidak memerangi kalian dalam agama, baik dari kalangan kerabat maupun lainnya.”9

  1. Praktik Nabi SAW dalam Berinteraksi dengan Non-Muslim

Rasulullah SAW memberikan contoh nyata dalam berinteraksi dengan non-Muslim secara sosial tanpa melibatkan diri dalam ritual keagamaan mereka:

  1. Menjenguk Tetangga Yahudi yang Sakit

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA:

كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ

“Ada seorang pemuda Yahudi yang melayani Nabi SAW, kemudian dia sakit. Lalu Nabi SAW menjenguknya.” (HR. Bukhari)10

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan:

فِيهِ جَوَازُ عِيَادَةِ الْمُسْلِمِ الذِّمِّيَّ وَالْمُعَاهَدَ وَغَيْرَهُ مِنَ الْكُفَّارِ، وَفِيهِ حُسْنُ الْخُلُقِ مَعَ الْخَادِمِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا

“Hadis ini menunjukkan diperbolehkannya seorang Muslim menjenguk orang dzimmi, orang yang ada perjanjian, dan kafir lainnya. Di dalamnya terdapat anjuran berakhlak baik kepada pelayan meskipun dia kafir.”11

  1. Menerima Hadiah dari Non-Muslim

Rasulullah SAW menerima hadiah dari Muqauqis, penguasa Mesir yang beragama Kristen. (HR. Bukhari)12

  1. Bermuamalah dengan Non-Muslim

Rasulullah SAW wafat sementara baju besinya digadaikan kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya. (HR. Bukhari dan Muslim)13

Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm menyatakan:

لَا بَأْسَ بِمُعَامَلَةِ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَالْمُشْرِكِينَ فِيمَا أَحَلَّ اللَّهُ، وَلَا بَأْسَ بِمُؤَاكَلَتِهِمْ وَمُجَالَسَتِهِمْ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ

“Tidak mengapa bermuamalah dengan ahlu dzimmah dan orang musyrik dalam hal yang dihalalkan Allah, dan tidak mengapa makan bersama dan duduk bersama mereka selama bukan dalam kemaksiatan.”14

  1. Batasan Tegas: Tidak Mengikuti Ritual Keagamaan

Meskipun Islam mengajarkan toleransi sosial, terdapat batasan tegas yang tidak boleh dilanggar. Imam Ar-Ramli, ulama besar mazhab Syafi’i, dalam Nihayah Al-Muhtaj menegaskan:

يَحْرُمُ حُضُورُ أَعْيَادِ الْكُفَّارِ إِذَا كَانَ الْحُضُورُ بِقَصْدِ الْمُشَارَكَةِ فِي الْعِبَادَةِ أَوْ إِظْهَارِ الْمُوَافَقَةِ لَهُمْ فِي دِينِهِمْ

“Haram menghadiri perayaan orang kafir jika kehadiran tersebut dengan tujuan berpartisipasi dalam ibadah atau menampakkan persetujuan terhadap agama mereka.”15

Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asna Al-Mathalib menambahkan:

يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُهَنِّئَ الذِّمِّيَّ بِمَا لَيْسَ مِنْ خَصَائِصِ دِينِهِ، كَالزَّوَاجِ وَالْوِلَادَةِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُهَنِّئَهُ بِأَعْيَادِ دِينِهِ

“Diperbolehkan bagi Muslim mengucapkan selamat kepada dzimmi dalam hal yang bukan kekhususan agamanya, seperti pernikahan dan kelahiran, tetapi tidak boleh mengucapkan selamat atas perayaan agamanya.”16

BAB III: HUKUM MENGHADIRI KEGIATAN SOSIAL NON-MUSLIM

  1. Pembagian Jenis Kegiatan

Ulama mazhab Syafi’i membedakan kegiatan non-Muslim menjadi beberapa kategori:

  1. Kegiatan Murni Ritual Keagamaan

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى تَحْرِيمِ حُضُورِ الْمُسْلِمِ لِلْعِبَادَاتِ الشِّرْكِيَّةِ كَالصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ أَوِ الْمَعْبَدِ أَوِ الْمُشَارَكَةِ فِي طُقُوسِهِمُ الدِّينِيَّةِ

“Para ulama sepakat tentang pengharaman kehadiran Muslim dalam ibadah-ibadah syirik seperti shalat di gereja atau kuil atau berpartisipasi dalam ritual keagamaan mereka.”17

  1. Kegiatan Sosial dengan Unsur Keagamaan

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah Al-Muhtaj menjelaskan:

إِذَا كَانَ فِي الْحُضُورِ مَا يُشْعِرُ بِالرِّضَا بِدِينِهِمْ أَوْ تَعْظِيمِ شَعَائِرِهِمْ فَهُوَ حَرَامٌ، وَإِنْ كَانَ لِمُجَرَّدِ الْمُجَامَلَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ دُونَ مُشَارَكَةٍ فِي الْعِبَادَةِ فَفِيهِ خِلَافٌ، وَالْأَحْوَطُ الْمَنْعُ

“Jika dalam kehadiran tersebut terdapat indikasi kerelaan terhadap agama mereka atau pengagungan terhadap syiar-syiar mereka maka haram. Namun jika hanya sekedar basa-basi sosial tanpa partisipasi dalam ibadah maka ada perbedaan pendapat, dan yang lebih hati-hati adalah mencegahnya.”18

  1. Kegiatan Murni Sosial-Kemanusiaan

Imam Ar-Ramli dalam Nihayah Al-Muhtaj menyatakan:

لَا بَأْسَ بِحُضُورِ الْمُسْلِمِ لِمُنَاسَبَاتِ أَهْلِ الذِّمَّةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ كَالْأَفْرَاحِ وَالتَّعَازِي إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهَا مُنْكَرٌ وَلَمْ يُشَارِكْ فِي شَعَائِرِهِمُ الدِّينِيَّةِ

“Tidak mengapa kehadiran Muslim dalam acara-acara sosial ahlu dzimmah seperti perayaan dan ta’ziyah jika tidak ada kemungkaran di dalamnya dan tidak berpartisipasi dalam syiar keagamaan mereka.”19

  1. Syarat-Syarat Kehadiran dalam Kegiatan Sosial

Para ulama Syafi’iyyah menetapkan beberapa syarat ketat untuk kebolehan menghadiri kegiatan sosial non-Muslim:

Imam Al-Khatib Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj menyebutkan:

يُشْتَرَطُ لِجَوَازِ حُضُورِ الْمُسْلِمِ مَجَالِسَ الْكُفَّارِ: أَنْ لَا يُشَارِكَ فِي عِبَادَتِهِمْ، وَأَنْ لَا يُظْهِرَ مُوَافَقَتَهُمْ فِي دِينِهِمْ، وَأَنْ لَا يَلْبَسَ شِعَارَهُمْ، وَأَنْ يَكُونَ لِمَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ

“Disyaratkan untuk kebolehan kehadiran Muslim dalam majelis orang kafir: tidak berpartisipasi dalam ibadah mereka, tidak menampakkan persetujuan terhadap agama mereka, tidak memakai simbol mereka, dan harus ada kemaslahatan yang rajih (lebih kuat).”20

  1. Kasus Ta’ziyah (Belasungkawa)

Allah SWT berfirman:

وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm menyatakan:

لَا بَأْسَ أَنْ يُعَزِّيَ الْمُسْلِمُ الذِّمِّيَّ فِي مُصِيبَتِهِ بِمَا لَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ

“Tidak mengapa Muslim menyampaikan belasungkawa kepada dzimmi dalam musibahnya dengan cara yang tidak menyalahi syariat.”21

Namun, Imam An-Nawawi memberikan batasan tegas:

يَجُوزُ تَعْزِيَةُ الْكَافِرِ بِمَا لَا يَدُلُّ عَلَى الرِّضَا بِدِينِهِ، فَلَا يَقُولُ: غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، بَلْ يَقُولُ: أَعْظَمَ اللَّهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ، أَوْ: عَظَّمَ اللَّهُ أَجْرَكَ فِي هَذِهِ الْمُصِيبَةِ

“Diperbolehkan menyampaikan ta’ziyah kepada orang kafir dengan cara yang tidak menunjukkan kerelaan terhadap agamanya. Jangan mengatakan ‘semoga Allah mengampuninya’, tetapi katakan ‘semoga Allah mengagungkan pahalamu dan membuat ta’ziyahmu baik’ atau ‘semoga Allah mengagungkan pahalamu dalam musibah ini’.”22

BAB IV: KEDUDUKAN MUSLIM MINORITAS DALAM FIQH

  1. Konsep Fiqh Al-Aqalliyyat (Fiqh Minoritas)

Ulama kontemporer mengembangkan konsep khusus untuk Muslim yang hidup sebagai minoritas. Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan bahwa Muslim minoritas menghadapi tantangan khusus yang memerlukan pemahaman fiqh yang kontekstual dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar syariat.23

  1. Prinsip Rukhshah (Keringanan) dalam Kondisi Dharurat

Allah SWT berfirman:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا ٱضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)

Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nadha’ir menyebutkan kaidah penting:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Keadaan darurat membolehkan yang terlarang.”24

Namun, Imam Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat memberikan peringatan:

الضَّرُورَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا، فَلَا يَجُوزُ التَّوَسُّعُ فِي الرُّخْصَةِ بِحُجَّةِ الضَّرُورَةِ إِلَّا بِقَدَرِ رَفْعِ الضَّرَرِ

“Dharurat diukur sesuai kadarnya, maka tidak boleh memperluas rukhshah dengan alasan dharurat kecuali sebatas menghilangkan bahaya.”25

  1. Kondisi Ikrah (Paksaan)

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan kepada mereka.” (HR. Ibnu Majah)26

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan:

الْمُكْرَهُ عَلَى الْكُفْرِ إِذَا كَانَ الْإِكْرَاهُ بِمَا يُخَافُ مِنْهُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عُضْوِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يُجْرِيَ عَلَى لِسَانِهِ كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

“Orang yang dipaksa kufur, jika paksaan tersebut dengan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan dirinya atau anggota tubuhnya, diperbolehkan baginya mengucapkan kata-kata kufur sementara hatinya tenang dengan iman.”27

Namun ulama Syafi’iyyah menegaskan bahwa ikrah harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli:

يُشْتَرَطُ فِي الْإِكْرَاهِ الْمُلْجِئِ: أَنْ يَكُونَ بِالضَّرْبِ الْمُؤْلِمِ أَوِ التَّهْدِيدِ بِالْقَتْلِ أَوْ قَطْعِ الْعُضْوِ، وَأَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ وُقُوعُ مَا هُدِّدَ بِهِ

“Disyaratkan dalam ikrah yang memaksa: harus dengan pukulan yang menyakitkan atau ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota tubuh, dan dia yakin akan terjadinya ancaman tersebut.”28

BAB V: KAIDAH FIQH YANG RELEVAN

  1. Dar’u Al-Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbi Al-Mashalih

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”29

Imam Al-Qarafi dalam Al-Furuq menjelaskan aplikasi kaidah ini:

إِذَا تَعَارَضَتِ الْمَصْلَحَةُ وَالْمَفْسَدَةُ قُدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا، لِأَنَّ اعْتِنَاءَ الشَّرْعِ بِالْمَنْهِيَّاتِ أَشَدُّ مِنِ اعْتِنَائِهِ بِالْمَأْمُورَاتِ

“Jika kemaslahatan bertentangan dengan kerusakan, menolak kerusakan didahulukan pada umumnya, karena perhatian syariat terhadap larangan lebih kuat daripada perhatiannya terhadap perintah.”30

Dalam konteks ini, menjaga kemurnian akidah (menolak kerusakan) lebih diprioritaskan daripada menjaga hubungan sosial semata (menarik kemaslahatan).

  1. Al-‘Adatu Muhakkamah

الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan hukum.”31

Namun, Imam Asy-Syatibi memberikan batasan:

الْعَادَةُ الْمُحَكَّمَةُ هِيَ الَّتِي لَا تُخَالِفُ نَصًّا شَرْعِيًّا، فَإِنْ خَالَفَتْ فَهِيَ مَرْدُودَةٌ

“Adat yang dapat dijadikan hukum adalah yang tidak menyalahi nash syar’i, jika menyalahi maka ditolak.”32

  1. Al-Mashaqqatu Tajlibu At-Taysir

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”33

Imam Ibnu Nujaim dalam Al-Asybah wa An-Nadha’ir menjelaskan:

الْمَشَقَّةُ إِذَا بَلَغَتْ حَدًّا يُخَافُ مَعَهُ الضَّرَرُ فَإِنَّهَا تُوجِبُ التَّيْسِيرَ فِي الْأَحْكَامِ

“Kesulitan jika sampai pada batas yang dikhawatirkan membahayakan maka mewajibkan adanya kemudahan dalam hukum.”34

BAB VI: ANALISIS KONTEKSTUAL DAN APLIKASI HUKUM

  1. Klasifikasi Kehadiran Muslim dalam Kegiatan Non-Muslim

Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan, kehadiran Muslim dalam kegiatan non-Muslim dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Haram Mutlaq (Haram Secara Mutlak)

Mengikuti dan terlibat dalam:

  • Ritual ibadah keagamaan non-Muslim (shalat, doa sesuai agama lain)
  • Upacara yang mengandung keyakinan syirik
  • Prosesi yang mensyaratkan pengucapan kalimat-kalimat kufur
  • Pemakaian simbol-simbol keagamaan non-Muslim
  • Aktivitas yang menunjukkan persetujuan terhadap akidah non-Islam

Dalilnya adalah ayat Al-Kafirun yang telah disebutkan, dan ijma’ ulama sebagaimana dikutip dari An-Nawawi.35

  1. Makruh Tahrim (Mendekati Haram)

Kehadiran dalam acara yang bercampur antara unsur sosial dan keagamaan, seperti:

  • Perayaan hari besar agama yang ada unsur sosialnya
  • Upacara adat yang tercampur dengan ritual keagamaan

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan posisi makruh tahrim untuk kondisi ini dengan alasan sadd adz-dzari’ah (menutup jalan menuju keharaman).36

  1. Mubah dengan Syarat (Boleh Bersyarat)

Kehadiran dalam kegiatan murni sosial-kemanusiaan seperti:

  • Ta’ziyah (belasungkawa) atas kematian
  • Membantu persiapan teknis acara
  • Menjaga keamanan
  • Bantuan kemanusiaan

Dengan syarat-syarat ketat yang telah disebutkan oleh Imam Al-Khatib Asy-Syarbini.37

  1. Rukhshah dalam Kondisi Ikrah atau Dharurat

Jika ada ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa, harta, atau pengucilan sosial yang membahayakan, dapat menggunakan rukhshah dengan tetap:

  • Hati menolak (الْقَلْبُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ)
  • Tidak menampakkan persetujuan
  • Sebatas menghilangkan bahaya
  1. Penerapan dalam Konteks Minoritas Muslim

Imam Asy-Syatibi dalam Al-I’tisham menjelaskan prinsip penting:

مُرَاعَاةُ الْمَآلَاتِ مُعْتَبَرَةٌ فِي الْأَحْكَامِ، فَقَدْ يَكُونُ الْفِعْلُ مَشْرُوعًا لَكِنْ يُمْنَعُ لِمَا يَؤُولُ إِلَيْهِ مِنَ الْمَفْسَدَةِ

“Memperhatikan akibat (ma’alat) diperhitungkan dalam hukum, boleh jadi suatu perbuatan disyariatkan namun dicegah karena berujung pada kerusakan.”38

 

Dalam konteks Muslim minoritas:

  1. Prioritas Menjaga Akidah

Tidak ada kompromi dalam hal akidah meskipun dalam posisi minoritas. Sebagaimana perintah Allah dalam QS. Luqman: 15:

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”

  1. Kearifan dalam Dakwah

Menolak dengan cara yang bijaksana sebagaimana firman Allah:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)

  1. Menjaga Maslahah Umat

Tidak menciptakan permusuhan yang tidak perlu, tetapi juga tidak mengorbankan prinsip akidah.

BAB VII: PEDOMAN PRAKTIS

  1. Sikap Muslim dalam Kegiatan Kematian Non-Muslim

Yang Dibolehkan:

  • Menyampaikan belasungkawa dengan redaksi netral
  • Membantu keluarga dalam hal-hal teknis (memasak, mengatur tempat)
  • Ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman (tanpa mengikuti ritual)
  • Menjaga keamanan

Yang Dilarang:

  • Mengikuti doa-doa ritual keagamaan mereka
  • Memakai simbol keagamaan (salib, dll)
  • Mengucapkan “semoga masuk surga” atau doa sejenis
  • Berdiri di depan altar atau tempat ibadah mereka

Imam An-Nawawi menegaskan:

يَجُوزُ تَشْيِيعُ جِنَازَةِ الْكَافِرِ تَبَعًا لِأَهْلِهِ مِنْ غَيْرِ صَلَاةٍ عَلَيْهِ وَلَا دُعَاءٍ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ

“Diperbolehkan mengiringi jenazah kafir mengikuti keluarganya tanpa menshalatkan dan tanpa mendoakannya dengan ampunan.”39

  1. Sikap Muslim dalam Kegiatan Pernikahan Non-Muslim

Yang Dibolehkan:

  • Hadir dalam resepsi sebagai bentuk silaturahim
  • Memberikan ucapan selamat yang netral
  • Menikmati hidangan (yang halal)

Yang Dilarang:

  • Menghadiri upacara pemberkatan di gereja/kuil
  • Mengikuti ritual pemberkatan
  • Mengucapkan “diberkati Tuhan” atau ungkapan teologis mereka
  • Ikut dalam prosesi keagamaan
  1. Sikap Muslim dalam Perayaan Hari Besar Keagamaan Non-Muslim

Imam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim menyatakan:

لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَشَبَّهُوا بِهِمْ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِأَعْيَادِهِمْ، لَا مِنْ طَعَامٍ وَلَا لِبَاسٍ وَلَا اغْتِسَالٍ وَلَا إِيقَادِ نَارٍ وَلَا تَبْطِيلِ عَادَةٍ مِنْ مَعِيشَةٍ أَوْ عِبَادَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ

“Tidak boleh bagi kaum Muslim menyerupai mereka dalam sesuatu yang khusus dengan perayaan mereka, baik dalam makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meninggalkan kebiasaan dalam penghidupan atau ibadah atau lainnya.”40

  1. Redaksi yang Dianjurkan dalam Berinteraksi

Saat Ta’ziyah:

  • “Turut berdukacita atas musibah yang menimpa”
  • “Semoga diberi ketabahan”
  • “Ikut berbela sungkawa”

Saat Ucapan Selamat:

  • “Selamat atas pernikahan/kelahiran”
  • “Semoga menjadi keluarga yang bahagia”
  • (Hindari: “Tuhan memberkati”, “Masuk surga”, dll)

BAB VIII: PENUTUP

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis mendalam terhadap dalil-dalil Al-Qur’an, Hadis, pendapat ulama mazhab Syafi’i, dan kaidah-kaidah fiqh, dapat disimpulkan:

  1. Prinsip Fundamental: Kemurnian akidah adalah prioritas utama yang tidak dapat dikompromikan dalam kondisi apapun, termasuk dalam posisi minoritas.
  2. Toleransi Bersyarat: Islam mengajarkan toleransi dan sikap baik kepada non-Muslim dalam urusan sosial-kemanusiaan, namun dengan batasan tegas: tidak melibatkan diri dalam ritual keagamaan mereka dan tidak menampakkan persetujuan terhadap akidah mereka.
  3. Klasifikasi Hukum: Kehadiran Muslim dalam kegiatan non-Muslim terbagi menjadi: haram mutlaq (ritual keagamaan), makruh tahrim (acara campuran), mubah bersyarat (murni sosial), dan rukhshah dalam dharurat.
  4. Fiqh Minoritas: Muslim minoritas mendapat perhatian khusus dalam fiqh dengan tetap memegang prinsip: الضرر يزال (bahaya harus dihilangkan) namun لا ضرر ولا ضرار (tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan), termasuk tidak membahayakan akidah sendiri.
  5. Dakwah Bijaksana: Penolakan terhadap partisipasi dalam ritual keagamaan non-Muslim harus disampaikan dengan cara yang santun, bijaksana, dan penuh hikmah, tanpa menciptakan permusuhan yang tidak perlu.
  6. Rekomendasi
  7. Untuk Individu Muslim: Memperkuat pemahaman akidah dan fiqh muamalah agar dapat membedakan antara toleransi sosial yang dianjurkan dan kompromi akidah yang dilarang.
  8. Untuk Tokoh Agama: Memberikan edukasi berkelanjutan tentang batasan-batasan syar’i dalam berinteraksi dengan non-Muslim, dengan pendekatan yang kontekstual namun tetap berdasarkan dalil yang shahih.
  9. Untuk Komunitas Muslim Minoritas: Membangun solidaritas internal umat Islam untuk saling menguatkan dalam menjaga akidah, sekaligus membangun komunikasi yang baik dengan komunitas non-Muslim berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal.
  10. Untuk Pemerintah dan Pemangku Kebijakan: Memfasilitasi dialog antarumat beragama yang menghormati keyakinan masing-masing, serta melindungi hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan.
  11. Untuk Lembaga Pendidikan: Memasukkan materi fiqh minoritas dan adab berinteraksi dengan non-Muslim dalam kurikulum pendidikan Islam, agar generasi muda memiliki bekal yang cukup dalam menghadapi realitas pluralitas.

CATATAN AKHIR

1.Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), juz 20, hlm. 176.

2.Al-Bagawi, Ma’alim at-Tanzil (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997), juz 8, hlm. 465.

3 Asy-Syafi’i, Al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), juz 4, hlm. 239.

4 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 2000), juz 5, hlm. 34.

5 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab al-Libas, bab fi Libas asy-Syuhrah, no. 4031.

6 Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim (Beirut: Dar ‘Alam al-Kutub, 1999), hlm. 82-83.

7 As-Suyuthi, Syarh Sunan Ibni Majah dalam Mawsu’ah Syuruh Al-Muwaththa’ (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz 8, hlm. 127.

8 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz 18, hlm. 59.

9 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), juz 8, hlm. 89.

10 Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, kitab al-Jana’iz, bab ‘Iyadah al-Musyrik, no. 1356.

11 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1392 H), juz 3, hlm. 43.

12 Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, kitab al-Hibah, bab Qabul al-Hadiyyah min al-Musyrikin, no. 2617.

13 Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, kitab al-Buyu’, bab Syira’ an-Nabi bi an-Nasi’ah, no. 2068; Muslim, Sahih Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1603.

14 Asy-Syafi’i, Al-Umm, juz 3, hlm. 212.

15 Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz 8, hlm. 264.

16 Al-Anshari, Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), juz 4, hlm. 321.

17 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 35.

18 Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj (Kairo: Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1983), juz 9, hlm. 268.

19 Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, juz 8, hlm. 265.

20 Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazh Al-Minhaj (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), juz 6, hlm. 43.

21 Asy-Syafi’i, Al-Umm, juz 1, hlm. 289.

22 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 309.

23 Al-Qaradhawi, Yusuf. Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah (Kairo: Dar asy-Syuruq, 2001), hlm. 15-23.

24 As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), hlm. 84.

25 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah, 2003), juz 2, hlm. 318.

26 Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah, kitab ath-Thalaq, bab Thalaq al-Mukrah wa an-Nasi, no. 2043.

27 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm. 217.

28 Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, juz 7, hlm. 421.

29 As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadha’ir, hlm. 87.

30 Al-Qarafi, Al-Furuq (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.t.), juz 4, hlm. 27.

31 Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 93.

32 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, juz 2, hlm. 289.

33 As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadha’ir, hlm. 138.

34 Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nadha’ir, hlm. 71.

35 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 35.

36 Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj, juz 9, hlm. 268-269.

37 Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, juz 6, hlm. 43.

38 Asy-Syatibi, Al-I’tisham (Riyadh: Dar Ibnu Affan, 1992), juz 2, hlm. 126.

39 An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 310.

40 Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, hlm. 207.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Tafsir

  • Al-Qur’an Al-Karim
  • Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
  • Al-Bagawi, Al-Husain bin Mas’ud. Ma’alim at-Tanzil. Riyadh: Dar Thayyibah, 1997.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin ‘Umar. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998.

Hadis dan Syarah

  • Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir, 2002.
  • Muslim bin Al-Hajjaj. Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1991.
  • Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar ar-Risalah al-‘Alamiyyah, 2009.
  • An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarh Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1392 H.

Fiqh Mazhab Syafi’i

  • Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990.
  • An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Jeddah: Maktabah al-Irsyad, 2000.
  • Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad. Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
  • Al-Anshari, Zakariya. Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
  • Al-Khatib Asy-Syarbini, Muhammad. Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazh Al-Minhaj. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
  • Ibnu Hajar Al-Haitami, Ahmad bin Muhammad. Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarh Al-Minhaj. Kairo: Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1983.

Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqh

  • Asy-Syatibi, Ibrahim bin Musa. Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah, 2003.
  • As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah wa An-Nadha’ir fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.
  • Ibnu Nujaim, Zainuddin. Al-Asybah wa An-Nadha’ir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
  • Al-Qarafi, Ahmad bin Idris. Al-Furuq. Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.t.

Karya Ibnu Taimiyyah

  • Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim Mukhalafatu Ashab Al-Jahim. Beirut: Dar ‘Alam al-Kutub, 1999.

والله أعلم بالصواب

 

[1] Profesor Ilmu Hadis UIN Sumut; Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Provsu.

Related Articles

Stay Connected

4,203FansLike
3,912FollowersFollow
12,100SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles